ANTAREZ CORPORATED: Pulau Tenggelam, Mungkinkah?

WELCOME TO MY BLOG

SALAM GEOGRAFI

WELCOME TO MY BLOG!!!

ENJOY THE TRIP

Selasa, 21 Desember 2010

Pulau Tenggelam, Mungkinkah?


Pulau Tenggelam, Mungkinkah?

Betulkah kematian gugusan pulau bisa terjadi karena pemanasan global? Artikel berikut ini sebagai bahan diskusi dan urun rembug atas artikel yang dimuat PR, Sabtu (26/8). Ditulis oleh Dr. M. Darussalam, tulisan berjudul Pemanasan Global dan Kematian Gugusan Pulau perlu ditambah dengan informasi berikut ini, terutama menyangkut probabilitas kekaraman pulau yang memang kontroversial.

Tak dimungkiri, kenaikan kosentrasi gas CO2 di muka Bumi menjadi salah satu sebab kenaikan temperatur muka Bumi. Bersama dengan gas metana yang ke luar deras dari rawa-rawa, sawah yang di panen, dan juga dari tangki septik di setiap rumah (ini justru jarang dibahas dalam seminar lingkungan), gas CO2 dimasukkan ke dalam gas rumah kaca (greenhouse gas). Industri otomotif yang demikian masif, terutama kendaraan roda dua, kian memperbesar kosentrasinya. Tambah runyam lagi karena terjadi pembakaran atau kebakaran hutan, seperti di Riau dan Kalimantan. Semua itu berdampak pada temperatur muka bumi. Dekade terpanas terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an. Adapun tahun terpanas satu dekade terakhir ini ialah tahun 1998, 2001, dan 2005.

Namun demikian, ada pertanyaan yang belum juga terjawab secara meyakinkan dan menjadi polemik di antara pakar. Andaikata temperatur muka bumi terus naik, mungkinkah dapat mencairkan es di kutub Utara dan Selatan? Apa yang akan terjadi pada manusia ketika temperatur itu terus naik? Masih hidupkah manusia atau sudah mati sebelum es di kutub mencair semua? Lalu, apakah es di kedua kutub itu bisa mencair ataukah hanya di salah satu kutub saja? Mungkinkah terjadi anomali, yaitu es di kutub makin luas areanya dan muka air laut justru turun?

Secara teoretis, sudah diyakini bahwa kenaikan muka laut mampu menyempitkan luasan pulau dan mengurangi garis pantai. Bahkan diduga pulau kecil alias nusa-nusa bakal tenggelam. Di pulau besar, intrusi atau penyusupan air laut makin parah sehingga sumur pun menjadi asin, lalu memperluas efek krisis air yang sudah parah ini. Reduksi luasan pulau menimbulkan masalah kependudukan dan gangguan kesehatan, malah memicu gelombang panas yang jauh lebih ganas dan luas paparannya, seperti yang melanda kawasan Amerika- Eropa. Pola hujan dan salju pun ikut berubah.

Siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja semua orang. Namun, jika dikaitkan dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab adalah negara industri karena merekalah yang terbanyak mengemisi CO2 ke atmosfer. Ini sekadar contoh. Emisi orang Amerika Serikat lima kali lebih besar daripada orang Meksiko. Bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Data lain lebih tandas lagi. Menurut sebuah sumber, 20% manusia Bumi ini tinggal di negara maju tetapi justru kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, jika dihitung berdasarkan negaranya, maka Cinalah pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya memang terbanyak, walaupun secara individu emisi tujuh orang Cina itu setara dengan satu orang Amerika Serikat. Tujuh orang setara dengan satu orang!

Waterworld
Betulkah pulau-pulau bisa tenggelam karena pemanasan global? Memang sudah ada orang yang mengalami banjir Nabi Nuh, yaitu Kevin Kostner. Dia, dan juga teman-temannya, sampai bertarung habis-habisan memperebutkan air tawar dan berlomba mencari daratan yang belum tenggelam. Setelah kehilangan rumah, tanah dan air, mereka pun lantas menggelandang di atas kapal layar dan berperang. Semuanya gara-gara pencairan es di kutub Bumi dan menenggelamkan pulau, bahkan benua. Hanya saja, itu terjadi di dalam film yang bertajuk waterworld.

Kalau demikian, akankah Dunia Air itu bisa betul-betul terjadi? Ada kajian ilmiah yang disebut Teori Lebur atau Melting Theory. Intinya adalah kontradiksi yang dapat terjadi jika global warming makin parah. Ada dua hal penting yang bisa terjadi, yaitu perubahan tinggi muka air laut karena daratan bergerak relatif terhadap lautan (isostatik) dan perubahan yang terjadi karena volume air laut bertambah akibat pencairan es dan salju (eustatik).

Jika demikian, mencairkah es di kedua kutub Bumi itu? Para pakar terbelah pendapatnya pada soal ini. Sekelompok ahli yakin bahwa es di kedua kutub itu akan mencair jika pemanasan global tak berkurang. Es yang terus berubah menjadi air lalu masuk ke laut sehingga muka air laut meninggi yang lantas “memakan” pantai, mengurangi garis pantai dan menenggelamkan nusa-nusa. Namun ada pendapat lain. Kelompok ini justru yakin bahwa ada beda karakter atas kedua kutub Bumi. Katanya, kutub Selatan (Antartika) adalah dataran yang ditutupi es. Sebaliknya kutub Utara (Artik) adalah air laut yang membeku membentuk pulau es dan gunung-gunung es. Dengan kata lain, kutub Utara, kecuali Greenland, adalah es yang terapung.

Andaikata temperatur global betul-betul naik ekstrem, apa yang akan terjadi pada es di kedua kutub itu? Jika pulau apung di Artik mencair, maka takkan banyak berpengaruh pada tinggi muka air laut. Ini mirip dengan gelas yang berisi air dan ada sepotong es yang menyembul di permukaannya. Meskipun es itu habis mencair, sesuai dengan hukum Archimedes, maka airnya takkan tumpah. Jadi, peleburan es di Artik hanya akan mengubah wujudnya dari padat mencari cair sehingga tak berpengaruh pada kenaikan muka air laut global.

Hal berseberangan bisa terjadi di Antartika. Gunung es di kutub dapat mempengaruhi muka air laut karena volumenya cukup besar untuk menambah volume air laut global. Hanya saja, karakter lingkungan di Antartika sangat-sangat dingin. Temperaturnya jauh di bawah titik nol sehingga esnya tak mudah mencair. Pemanasan global tak mampu mencairkan esnya. Andaikata pemanasan global dapat mencairkan es di sana maka diduga semua manusia sudah mati. Semuanya tewas akibat heat stroke, fenomena yang sering menimpa jamaah haji dan negara di Eropa ketika musim panas, sebelum berdampak pada kenaikan muka air laut.

Lebih jauh lagi, hal muskil pun dapat saja terjadi dan kontradiktif. Pemanasan global justru menyebabkan air laut di kutub Selatan menguap dan terus menguap. Hembusan angin lantas membawanya ke daratan kutub dan akhirnya jatuh membeku di sana. Jika kejadian ini berlangsung menerus maka air laut pindah ke darat lalu menjadi es. Maka, yang terjadi justru penurunan muka air laut, bukan kenaikan! Artinya, pantai kita meluas dan muncul nusa-nusa baru.

Tampaklah bahwa pemanasan global, karamnya pulau dan banjir sejagat tak mudah dijelaskan karena belum pernah terjadi, belum ada pengalaman. Yang ada hanyalah film-nya Kevin Kostner yang juga banyak menuai kontroversi dan dianggap tak ilmiah. Tapi itulah yang terjadi, dunia teoretis berbakuhantam dengan kreativitas sineas.

Namun demikian, apapun teorinya dan bagaimanapun cara orang menjelaskannya, yang pasti pemanasan global akan mempengaruhi aktivitas kita. Polusi CO2 yang kian parah, andaipun kecil dampaknya pada kenaikan muka air laut, tetapi besar pengaruhnya pada paru-paru kita, pada kenyamanan kerja kita, pada produktivitas kita.*

Tidak ada komentar: